Sunday, August 12, 2012

BUSANA DAERAH YOGYAKARTA



Oleh : Ir. KRAy. S. Anglingkusumo SPd, M. Eng


Busana daerah Yogyakarta adalah busana yang pada umumnya di kenakan oleh pria dan wanita di daerah Yogyakarta yang propinsinya disebut Daerah Istimewa Yogyakarta.
Propinsi ini terletak di selatan Propinsi Jawa Tengah, dan busana yang lazim dikenakan tidak sama dengan daerah daerah di Propinsi Jawa Tengah seperti Solo, Banyumas, Kudus dll.
Meskipun termasuk suku Jawa tetapi busananya dapat dikatakan masih kuno, terutama busana yang dikenakan para pria masih mema
kai pola lama tidak ada pengaruh pola busana Barat.
Sebabnya karena pola tersebut masih asli Mataram, karena kita ketahui pendiri Karaton Ngayogya Hadiningrat adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I yang sebelumnya adalah Pangeran Mangkubumi, putra Sri Susuhunan Paku Buwono II yang pada waktu itu memenangkan peperangan melawan Kompeni sehingga mendapatkan kekuasaan atas tanah yang sekarang ini menjadi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta  ( DIY ). Konon pada suatu ketika Sri Susuhunan Paku Buwono II yang bertahta di Karaton Kartasura (sekarang berada ke Surakarta/Solo) merasa menyesal telah menandatangani perjanjian dengan Kompeni yang terbukti kemudian merugikan banganya, sehingga diam diam memberi semangat kepada putranya, Pangeran Mangkubumi untuk melawan Kompeni, dengan janji akan mendapatkan hadiah jika menang perang.
Ketika P.Mangkubumi telah dapat mengalahkan Kompeni, beliau
menghadap ayahandanya melaporkan kemenangan tersebut dan sebagai hadiah ayahandanya menanyakan apakah yang diinginkan.
P.Mangkubumi menjawab bahwa kesenian dan busana Mataramlah yang beliau inginkan dibawa ke Karaton yang baru di wilayah yang telah dikuasainya.
Dan sang ayahanda menepati janjinya sehingga sejak itulah busana
Di Karaton Kartasura ber angsur angsur membuat desain busana Jawa yang baru dengan pola Barat, dan sampai sekarang baju tradisi
Karaton Surakarta Hadiningrat di Solo menjadi ”beskap” dengan potongan ala jas Barat, lengkap dengan ”padding” pada bahu dan lapisan bagian depan yang memakai kain keras yang dahulu disebut ”bubat” agar bentuknya tetap rapi.

BUSANA DAERAH YOGYAKARTA UNTUK PRIA

Para pria Yogyakarta pada umumnya memakai busana daerahnya yang bernama ”surjan” terbuat dari lurik.
Dahulu hanya para kerabat kraton dan ”priyayi” yang mengenakan Surjan dari satin,sutra ,bludru atau bahan lain yang berwarna warni
Karena saat itu bahan demikian masih diimport dan hanya kaum itulah yang mampu membelinya.Selain itu ada model ”pranakan” yaitu baju yang terbuat dari lurik warna biru tua,hijau tua atau hitam bentuknya hampir seperti surjan tetapi memakainya seperti T shirt.
”Beskap” Yogya yaitu sejenis surjan tetapi memakai kancing warna keemasan dibagian tengah seperti busana ”atela” di kraton Solo,
Terbuat dari bahan/kain jas pria, warnanya ada hitam untuk malam hari atau putih untuk siang hari.
Yang memakai adalah para pejabat istana berkedudukan bupati.
Adapun perlengkapan busana pria ini sbb.:

1.       Baju Surjan, peranakan, beskap.
2.      Kain batik (”nyamping”) motif Yogya
3.      “lonthong” yaitu ikat pinggang dari kain yang panjangnya kirakira 3 meter dan lebar 13 -15 cm,                                                 
Untuk  bangsawan berlapis sutra/satin,untuk pengantin bermotif cinde,untuk umum tenun biasa
4.      “Kamus” yaitu semacam ikat pinggang yang mengerat
kan ”lonthong” dibagian tengah pinggang, untuk para
bangsawan dihias benang emas atau bermotif terbuat
dari kruistick (kristik) yaitu sulaman tusuk silang.untuk umum biasanya polos saja.
                          5.  ”Timang” yaitu semacam gasper untuk ikat pinggang
yang disebut ”kamus” tadi terbuat dari logam mulia atau gading gajah yang berukir dan bertahta permata.
6        Keris atau ”wangkingan”/”duwung” yang berbentuk  ”branggah”atau ”gayaman”  .    
7.      ”Destar” atau ”blangkon” sebagai penutup kepala
yang terbuat dari kain batik khusus disebut motif gadung mlati dan modang , dengan bentuk bgn belakangnya berciri ”mondolan” karena jaman dahulu untuk ”menyimpan” rambut panjang, diikat
dan ujungnya dibentuk melebar bermacam macam
      seperti bentuk ”kamicucen”,nyinthing, njebeh, asu           nguyuh, nyekok,kagok,ngobis,kupu tarung. 
8.       Alas kaki memakai ”selop” yaitu semacam sandal ter
tutup bagian depannya terbuat dari kulit warna hitam.

CARA  MENGENAKAN  KAIN  :

Kain batik motif Yogyakarta terlebih dahulu dilipat tepinya selebar 3 jari, seanyak 5 sampai 9 lipatan dinamai ”Wiron”, bagian tepi yang berwarna putih berada diluar lipatan (tampak dari luar), bagian tepi yang lain dilipat 2 cm sebanyak 3 atau 5 lipatan dinamai ”pengasih”
Cara memakainya kain diposisi belakang,wiron besar ditangan kanan, wiron pengasih ditangan kiri dililitkan kearah kanan depan sampai kesisi kanan atau lebih karena sisi yang berwiron besar dililit kearah kiri dan wiron harus terletak tepat ditengah perut. Perhatikan bentuk motif jangan sampai terbalik,mis. Sayap burung, motif mahkota/mangkoro, bunga dan
hewan usahakan dibagian depan tidak terbalik.
Bila motifnya tidak bolak balik, usahakan dibawah bokong tepat ditengah, tetapi jika motif bolak balik, bagian depan adalah yang harus tidak terbalik karena kalau difoto pasti dari arah depan, jadi
bagian belakang motifnya terbalik tidak apa apa.
Selanjutnya kain dieratkan dengan tali atau kendit/veterband, barulah dipasang ”lonthong” mengelilingi pinggang secara rapi,
dieratkan lagi dengan ”kamus” yang dilengkapi ”timang” sebagai
”pengunci”.
Setelah itu barulah baju dipakai, blangkon, keris dikanan belakang,
dan terakhir memakai selop.
Untuk mengenakan surjan agar terlihat rapi dan indah, harus memperhatikan warna surjan, ”lonthong” dan ”kamus”  agar serasi dengan warna yang terdapat pada blangkonnya.
Perhiasan yang umum dipakai sekarang ini adalah peniti hias (bros).


BUSANA DAERAH YOGYAKARTA UNTUK WANITA

Busana daerah Yogyakarta untuk wanita dewasa terdiri dari kain motif Yogya dan kebaya berkutubaru atau tanpa kutubaru.
”Kutubaru” adalah lidah kebaya yang terletak didada yang pada saat
Ini sudah umum dikenakan karena dapat membantu penampilan bagi yang bertubuh subur agar terlihat lebih ramping.
Masalah cara mengenakan kain berlawanan dengan para pria yaitu mengarah kekanan tubuh, sementara pangkal wiron terletak sedikit kekanan dari tengah perut.
Motif kain juga harus diperhatikan jangan sampai terbalik.
Motif kain parang atau lereng berlawanan dengan pria, yaitu turun
kearah kaki kanan sedang pria, turun kearah kaki kiri.
Tatarias rambut memakai sanggul tekuk Yogya dengan hiasan tusuk konde  atau ”penetep” atau bros ditengah belakang sanggul  bagi para gadis. Bunga imitasi ” ceplok jebehan” dan ”ceplok jenthit” hanya untuk wanita yang sudah menikah.
Perhiasan lainnya adalah selendang yang warnanya menarik dan cocok dengan warna kebaya, demikian juga giwang, kalung  dan bros
dapat dikenakan sesuai etika busana dan tidak terkesan ”overdress”, alias segala macam warna, bentuk dan perhiasan dipakai .
Alas kaki memakai selop terbuka atau tertutup asal pantas tidak ada
masalah.

Yang perlu diingat adalah bahwa pakaian daerah berbeda dengan pakaian adat.

BUSANA  DAERAH  YOGYAKARTA  UNTUK  ANAK ANAK


Busana daerah  Yogyakarta untuk anak anak  pada jaman dahulu
umumnya hanya selembar kain batik yang dililitkan  dengan bentuk yang disebut ”sabukwolo”.
Sebutan ”sabukwolo” ini karena sebagian kain batik yang telah dillitkan pada tubuh anak, sisanya atau ”wolo”nya dilipat memanjang kemudian di-”sabuk”kan atau dililitkan diperut , demikianlah membuat busana ini disebut cara ”sabukwolo”.
Dengan pemakaian serupa ini membuat anak anak bebas bergerak,
berlarian, duduk dibawah tanpa terasa sempit atau terganggu dengan
kain yang dikenakannya. Bahkan wolo yang dililitkan terakhir diperut anak dapat digunakan untuk menyimpan kembang gula, uang,permainan bola bekel, karet gelang untuk bermain dsb.
Memang busana anak ini sejak dulu dibuat agar anak merasa nyaman.
Pada saat ini busana sabukwolo mengadopsi busana anak di Kraton karena lebih terlihat istimewa dengan perlengkapan aksesori dan tatarias rambut sesuai dengan usianya.
Anak sebaiknya jangan dibusanai seperti orang dewasa mini, misalnya tatarias wajah menyolok, tatarambut disanggul, bahkan memakai bunga,kainnya dililitkan seperti orang dewasa sehingga sulit berjalan,  alas kakinya memakai tumit yang tinggi dsb.
Dari segi tatabusana dan tatarias sudah keliru, oleh karena seharusnya
Seorang anak ya memakai busana untuk anak sekalipun busana daerah.
Hal ini banyak yang tidak mengetahui, bahkan salon dan sanggar busanapun jarang yang mengerti.
Setelah memakai kain batik dengan cara sabukwolo ini, maka bajunya
dapat memakai kebaya tertutup maupun ”blak-blakan” atau terbuka,
karena bagian dadanyapun sudah tertutup oleh kain batik tadi.
Anak perempuan yang sudah lebih besar biasanya memakai kain batik
yang disebut cara ”pinjungan”.
Adapun tatarambut busana sabukwolo bagi yang berambut pendek dapat disisir rapi saja, kemudian memakai hiasan rambut ”bando” yang telah dihias dengan bulu bulu dan bros yang indah, atau cukup memakai pita yang juga dihias dengan bros.
Bagi anak yang berambut panjang, dapat juga di ”kepang” atau dijalin yang rapi kemudian ditekuk dan dihias pita, selain itu dapat pula disanggul konde kecil dengan tusuk konde hias dan bulu2  burung yang disebut ”lancur”
Aksesori anak perempuan dan gadis di Yogyakarta berbeda dengan gaya
Solo atau Jawa Tengah pada umumnya yang mengenakan sisir hias atau
”pethat” yang terletak diatas kepala.
Hal inipun sering menjadi salah kaprah karena ketidaktahuan masyara
kat umum.
Aksesori lainnya adalah kalung ”penanggalan”, kalung susun,
gelang,giwang dan pending atau ”sengkelat” yaitu semacam ikat pinggang terbuat dari kain dan diberi kaitan logam dengan ”batokan” .
Anak laki laki kecil juga tidak harus memakai blangkon, tapi dapat juga
mengenakan bando dengan bulu bulu yang serasi warnanya dengan surjan yang dipakai.


No comments:

Post a Comment