Oleh : Ir.
KRAy. S. Anglingkusumo SPd, M. Eng
Busana daerah Yogyakarta adalah busana yang pada
umumnya di kenakan oleh pria dan wanita di daerah Yogyakarta yang propinsinya
disebut Daerah Istimewa Yogyakarta.
Propinsi ini terletak di selatan Propinsi Jawa
Tengah, dan busana yang lazim dikenakan tidak sama dengan daerah daerah di
Propinsi Jawa Tengah seperti Solo, Banyumas, Kudus dll.
Meskipun termasuk suku Jawa tetapi busananya
dapat dikatakan masih kuno, terutama busana yang dikenakan para pria masih mema
kai pola lama
tidak ada pengaruh pola busana Barat.
Sebabnya
karena pola tersebut masih asli Mataram, karena kita ketahui pendiri Karaton
Ngayogya Hadiningrat adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I yang sebelumnya adalah
Pangeran Mangkubumi, putra Sri Susuhunan Paku Buwono II yang pada waktu itu
memenangkan peperangan melawan Kompeni sehingga mendapatkan kekuasaan atas
tanah yang sekarang ini menjadi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ). Konon pada suatu ketika Sri Susuhunan
Paku Buwono II yang bertahta di Karaton Kartasura (sekarang berada ke
Surakarta/Solo) merasa menyesal telah menandatangani perjanjian dengan Kompeni
yang terbukti kemudian merugikan banganya, sehingga diam diam memberi semangat
kepada putranya, Pangeran Mangkubumi untuk melawan Kompeni, dengan janji akan
mendapatkan hadiah jika menang perang.
Ketika
P.Mangkubumi telah dapat mengalahkan Kompeni, beliau
menghadap
ayahandanya melaporkan kemenangan tersebut dan sebagai hadiah ayahandanya
menanyakan apakah yang diinginkan.
P.Mangkubumi
menjawab bahwa kesenian dan busana Mataramlah yang beliau inginkan dibawa ke
Karaton yang baru di wilayah yang telah dikuasainya.
Dan sang
ayahanda menepati janjinya sehingga sejak itulah busana
Di Karaton
Kartasura ber angsur angsur membuat desain busana Jawa yang baru dengan pola
Barat, dan sampai sekarang baju tradisi
Karaton
Surakarta Hadiningrat di Solo menjadi ”beskap” dengan potongan ala jas Barat,
lengkap dengan ”padding” pada bahu dan lapisan bagian depan yang memakai kain
keras yang dahulu disebut ”bubat” agar bentuknya tetap rapi.
BUSANA
DAERAH YOGYAKARTA UNTUK PRIA
Para pria
Yogyakarta pada umumnya memakai busana daerahnya yang bernama ”surjan” terbuat
dari lurik.
Dahulu
hanya para kerabat kraton dan ”priyayi” yang mengenakan Surjan dari satin,sutra
,bludru atau bahan lain yang berwarna warni
Karena
saat itu bahan demikian masih diimport dan hanya kaum itulah yang mampu
membelinya.Selain itu ada model ”pranakan” yaitu baju yang terbuat dari lurik
warna biru tua,hijau tua atau hitam bentuknya hampir seperti surjan tetapi
memakainya seperti T shirt.
”Beskap”
Yogya yaitu sejenis surjan tetapi memakai kancing warna keemasan dibagian
tengah seperti busana ”atela” di kraton Solo,
Terbuat
dari bahan/kain jas pria, warnanya ada hitam untuk malam hari atau putih untuk
siang hari.
Yang
memakai adalah para pejabat istana berkedudukan bupati.
Adapun
perlengkapan busana pria ini sbb.:
1. Baju Surjan, peranakan, beskap.
2. Kain batik
(”nyamping”) motif Yogya
3. “lonthong”
yaitu ikat pinggang dari kain yang panjangnya kirakira 3 meter dan lebar 13 -15
cm,
Untuk bangsawan berlapis sutra/satin,untuk
pengantin bermotif cinde,untuk umum tenun biasa
4. “Kamus” yaitu semacam ikat pinggang yang mengerat
kan ”lonthong” dibagian tengah pinggang, untuk para
bangsawan dihias benang emas atau bermotif terbuat
dari kruistick (kristik) yaitu sulaman tusuk silang.untuk
umum biasanya polos saja.
5. ”Timang” yaitu semacam
gasper untuk ikat pinggang
yang disebut ”kamus” tadi terbuat dari logam mulia atau
gading gajah yang berukir dan bertahta permata.
6
Keris atau
”wangkingan”/”duwung” yang berbentuk
”branggah”atau ”gayaman” .
7. ”Destar” atau ”blangkon” sebagai penutup kepala
yang terbuat dari kain batik khusus disebut motif
gadung mlati dan modang , dengan bentuk bgn belakangnya berciri ”mondolan”
karena jaman dahulu untuk ”menyimpan” rambut panjang, diikat
dan ujungnya dibentuk melebar bermacam macam
seperti bentuk
”kamicucen”,nyinthing, njebeh, asu nguyuh, nyekok,kagok,ngobis,kupu
tarung.
8. Alas kaki memakai ”selop” yaitu semacam sandal ter
tutup bagian depannya terbuat dari kulit warna hitam.
CARA MENGENAKAN
KAIN :
Kain batik
motif Yogyakarta terlebih dahulu dilipat tepinya selebar 3 jari, seanyak 5
sampai 9 lipatan dinamai ”Wiron”, bagian tepi yang berwarna putih berada diluar
lipatan (tampak dari luar), bagian tepi yang lain dilipat 2 cm sebanyak 3 atau
5 lipatan dinamai ”pengasih”
Cara
memakainya kain diposisi belakang,wiron besar ditangan kanan, wiron pengasih
ditangan kiri dililitkan kearah kanan depan sampai kesisi kanan atau lebih
karena sisi yang berwiron besar dililit kearah kiri dan wiron harus terletak
tepat ditengah perut. Perhatikan bentuk motif jangan sampai terbalik,mis. Sayap
burung, motif mahkota/mangkoro, bunga dan
hewan
usahakan dibagian depan tidak terbalik.
Bila
motifnya tidak bolak balik, usahakan dibawah bokong tepat ditengah, tetapi jika
motif bolak balik, bagian depan adalah yang harus tidak terbalik karena kalau
difoto pasti dari arah depan, jadi
bagian
belakang motifnya terbalik tidak apa apa.
Selanjutnya
kain dieratkan dengan tali atau kendit/veterband, barulah dipasang ”lonthong”
mengelilingi pinggang secara rapi,
dieratkan
lagi dengan ”kamus” yang dilengkapi ”timang” sebagai
”pengunci”.
Setelah
itu barulah baju dipakai, blangkon, keris dikanan belakang,
dan
terakhir memakai selop.
Untuk mengenakan
surjan agar terlihat rapi dan indah, harus memperhatikan warna surjan,
”lonthong” dan ”kamus” agar serasi
dengan warna yang terdapat pada blangkonnya.
Perhiasan
yang umum dipakai sekarang ini adalah peniti hias (bros).
BUSANA
DAERAH YOGYAKARTA UNTUK WANITA
Busana
daerah Yogyakarta untuk wanita dewasa terdiri dari kain motif Yogya dan kebaya
berkutubaru atau tanpa kutubaru.
”Kutubaru”
adalah lidah kebaya yang terletak didada yang pada saat
Ini sudah
umum dikenakan karena dapat membantu penampilan bagi yang bertubuh subur agar
terlihat lebih ramping.
Masalah
cara mengenakan kain berlawanan dengan para pria yaitu mengarah kekanan tubuh,
sementara pangkal wiron terletak sedikit kekanan dari tengah perut.
Motif kain
juga harus diperhatikan jangan sampai terbalik.
Motif kain
parang atau lereng berlawanan dengan pria, yaitu turun
kearah
kaki kanan sedang pria, turun kearah kaki kiri.
Tatarias
rambut memakai sanggul tekuk Yogya dengan hiasan tusuk konde atau ”penetep” atau bros ditengah belakang
sanggul bagi para gadis. Bunga imitasi ”
ceplok jebehan” dan ”ceplok jenthit” hanya untuk wanita yang sudah menikah.
Perhiasan
lainnya adalah selendang yang warnanya menarik dan cocok dengan warna kebaya,
demikian juga giwang, kalung dan bros
dapat
dikenakan sesuai etika busana dan tidak terkesan ”overdress”, alias segala
macam warna, bentuk dan perhiasan dipakai .
Alas kaki
memakai selop terbuka atau tertutup asal pantas tidak ada
masalah.
Yang perlu
diingat adalah bahwa pakaian daerah berbeda dengan pakaian adat.
BUSANA DAERAH
YOGYAKARTA UNTUK ANAK ANAK
Busana
daerah Yogyakarta untuk anak anak pada jaman dahulu
umumnya
hanya selembar kain batik yang dililitkan
dengan bentuk yang disebut ”sabukwolo”.
Sebutan
”sabukwolo” ini karena sebagian kain batik yang telah dillitkan pada tubuh
anak, sisanya atau ”wolo”nya dilipat memanjang kemudian di-”sabuk”kan atau
dililitkan diperut , demikianlah membuat busana ini disebut cara ”sabukwolo”.
Dengan
pemakaian serupa ini membuat anak anak bebas bergerak,
berlarian,
duduk dibawah tanpa terasa sempit atau terganggu dengan
kain yang
dikenakannya. Bahkan wolo yang dililitkan terakhir diperut anak dapat digunakan
untuk menyimpan kembang gula, uang,permainan bola bekel, karet gelang untuk
bermain dsb.
Memang
busana anak ini sejak dulu dibuat agar anak merasa nyaman.
Pada saat
ini busana sabukwolo mengadopsi busana anak di Kraton karena lebih terlihat
istimewa dengan perlengkapan aksesori dan tatarias rambut sesuai dengan
usianya.
Anak
sebaiknya jangan dibusanai seperti orang dewasa mini, misalnya tatarias wajah
menyolok, tatarambut disanggul, bahkan memakai bunga,kainnya dililitkan seperti
orang dewasa sehingga sulit berjalan, alas
kakinya memakai tumit yang tinggi dsb.
Dari segi tatabusana
dan tatarias sudah keliru, oleh karena seharusnya
Seorang
anak ya memakai busana untuk anak sekalipun busana daerah.
Hal ini
banyak yang tidak mengetahui, bahkan salon dan sanggar busanapun jarang yang
mengerti.
Setelah
memakai kain batik dengan cara sabukwolo ini, maka bajunya
dapat
memakai kebaya tertutup maupun ”blak-blakan” atau terbuka,
karena
bagian dadanyapun sudah tertutup oleh kain batik tadi.
Anak
perempuan yang sudah lebih besar biasanya memakai kain batik
yang
disebut cara ”pinjungan”.
Adapun
tatarambut busana sabukwolo bagi yang berambut pendek dapat disisir rapi saja,
kemudian memakai hiasan rambut ”bando” yang telah dihias dengan bulu bulu dan
bros yang indah, atau cukup memakai pita yang juga dihias dengan bros.
Bagi anak
yang berambut panjang, dapat juga di ”kepang” atau dijalin yang rapi kemudian
ditekuk dan dihias pita, selain itu dapat pula disanggul konde kecil dengan
tusuk konde hias dan bulu2 burung yang
disebut ”lancur”
Aksesori
anak perempuan dan gadis di Yogyakarta berbeda dengan gaya
Solo atau
Jawa Tengah pada umumnya yang mengenakan sisir hias atau
”pethat”
yang terletak diatas kepala.
Hal inipun
sering menjadi salah kaprah karena ketidaktahuan masyara
kat umum.
Aksesori
lainnya adalah kalung ”penanggalan”, kalung susun,
gelang,giwang
dan pending atau ”sengkelat” yaitu semacam ikat pinggang terbuat dari kain dan
diberi kaitan logam dengan ”batokan” .
Anak laki
laki kecil juga tidak harus memakai blangkon, tapi dapat juga
mengenakan
bando dengan bulu bulu yang serasi warnanya dengan surjan yang dipakai.
No comments:
Post a Comment